Simply Me

Simply Me

Wednesday 13 June 2012

MERGER


MERGER
(Penggabungan)


A.        PENDAHULUAN

Dalam aksi korporasi, hukum bisnis Indonesia mengenal adanya beberapa tindakan korporasi diantaranya adalah Akuisisi (pengambilalihan), Merger (penggabungan), Konsolidasi (peleburan), dan Pemisahan (splitting) (selanjutnya disebut sebagai “AMKP”). Pada umumnya suatu perusahaan melakukan salah satu tindakan tersebut untuk tujuan restrukturisasi perusahaan, ekspansi perusahaan, ataupun untuk memenuhi Peraturan perundang-undangan.

Namun, banyak dari perusahaan di Indonesia melakukan tindakan-tindakan tersebut di atas terlebih untuk menghindari terjadinya permasalahan-permasalahan keuangan yang terus-menerus mengalami kerugian. Dan biasanya, Akuisisi (pengambilalihan), Merger (penggabungan), Konsolidasi (peleburan) dikelompokan menjadi bagian yang terpisah dari Pemisahan. Hal tersebut dikarenakan Akuisisi, Merger, dan Konsolidasi dilakukan untuk tujuan yang lebih besar dengan cara memperbesar asset atau ekspansi, sedangkan Pemisahan dilakukan semata-mata hanya untuk perampingan asset atau kegiatan usaha perusahaan agar lebih efisien dari keadaan sebelumnya.


B.        DEFINISI UMUM MERGER

Ketentuan dan definisi mengenai AMKP ini telah diatur dalam Pasal 122 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas[1]. Dengan keberadaan Perseroan Terbatas tersebut dalam dunia usaha sangatlah penting dalam kegiatan pembangunan ekonomi dunia dalam arus globalisasi dan liberalisasi perekonomian. Oleh karena itu, Pemerintah melakukan suatu suatu bentuk dukungan dan memfasilitasi akan realisasi pertumbuhan perekonomian Indonesia dengan membentuk suatu peraturan-peraturan yang akan menjadi wadah dan pedoman dalam melakukan tindakan korporasi Merger ini[2].

Merger adalah proses difusi atau penggabungan dua perseroan dengan salah satu diantaranya tetap berdiri dengan nama perseroannya sementara yang lain lenyap dengan segala nama dan kekayaannya dimasukan dalam perseroan yang tetap berdiri tersebut[3]. Merger dalam bahasa Inggris berarti “Penggabungan”, sedangkan dalam bahasa Latin berarti “bergabung bersama, menyatu, atau berkombinasi yang menyebabkan hilangnya identitas karena terserap sesuatu”.

Sehingga berdasarkan pernyataan tersebut diatas, Merger berarti adalah suatu tindakan ekspansi perusahaan atau restrukturisasi perusahaan melalui cara yaitu menggabungkan dua perusahaan atau lebih dimana hanya ada satu perusahaan dan salah satu perusahaan yang menggabungkan diri menjadi bubar karena hukum tanpa likuidasi terlebih dahulu.

Menurut M.E. Hitt[4], Merger merupakan suatu strategi bisnis yang diterapkan dengan menggabungkan antara dua atau lebih perusahaan yang setuju menyatukan kegiatan operasionalnnya dengan basis yang relative seimbang karena mereka memiliki sumber daya dan kapabilitas yang secara bersama-sama dapat menciptakan keunggulan kompetitif yang lebih kuat.

Banyak hal dalam mendefinisikan Merger ini terhadap suatu tindakan korporasi yang notabene makna dan tujuannya tersebut adalah sama diataranya:

Menurut Investopedia[5]:

“The combining of two or more companies, generally by offering the stockholders of one company securities in the acquiring company in exchange for the surrender of their stock.”

“Basically, when two companies become one. This decision is usually mutual between both firms.”

Terjemahan bebas:
                  
“Suatu kombinasi dari dua atau lebih perusahaan, yang pada umumnya dengan menawarkan para pemegang saham satu perusahaan efek pada perusahaan yang mengambilalih dengan imbalan penyerahan saham mereka."
           
"Pada dasarnya, ketika kedua perusahaan menjadi satu, keputusan ini biasanya saling menguntungkan kedua perusahaan.”
 
Menurut Black’s Law Dictionary:

“The fusion or absorption of one thing or right into another; generally spoken of a case where one of the subjects is of less dignity or importance than the other. Here the less important ceases to have an independent existence[6] . . . .”

Terjemahan bebas:

“Suatu penyatuan atau penggabungan sesuatu hal atau hak kepada yang lainnya; pada umumnya membicarakan mengenai suatu hal tertentu dimana suatu subjek tertentu adalah lebih rendah kedudukannya atau lebih rendah kepentingannya dari pada yang lain. Dalam hal ini suatu kepentingan yang lebih rendah tersebut tidak dapat lagi memiliki eksistensi yang independen. . . .”

Menurut para pakar:

Merger adalah penggabungan dua perusahaan menjadi satu, dimana perusahaan yang menggabungkan diri mengambil/membeli semua aset dan kewajiban/liabilities perusahaan yang menerima Merger tersebut. Dengan begitu perusahaan yang melakukan Merger memiliki paling tidak 50% saham dan perusahaan yang menerima Merger berhenti beroperasi dan pemegang sahamnya menerima sejumlah uang tunai atau saham di perusahaan yang baru[7].
 
Menurut Undang-undang dan Peraturan Pemerintah:

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 1 angka 9[8]:
Merger adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri tersebut beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri tersebut berakhir karena hukum.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1998[9]:
Merger dapat diartikan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar.

Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2010 Pasal 1 angka1[10]:
Merger dapat diartikan sebagai suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu atau lebih badan usaha untuk menggabungkan diri dengan badan usaha lainnya yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari badan usaha yang menggabungkan diri menjadi beralih karena hukum kepada badan usaha yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan usaha yang melakukan penggabungan menjadi berakhir karena hukum.

Namun ternyata, apabila kita merujuk kembali kepada ketentuan PP No. 57 tahun 2010 Pasal 1 angka 1 di atas bila dibandingkan dengan Pasal 1 angka 6[11], pengertian badan usaha adalah perusahaan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang menjalankan suatu bentuk kegiatan yang bersifat tetap dan terus-menerus dengan tujuan untuk memperoleh laba. Ini berarti, pada istilah badan hukum, ternyata kegiatan usaha Merger dapat dilakukan oleh perusahaan (badan usaha) yang berbadan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan perusahaan bukan badan hukum seperti perusahaan perseorangan (UD dan PD), atau perusahaan persekutuan (CV dan Firma). Dan tentu saja Merger tersebut hanya bias dilakukan terhadap perusahaan yang sejenis, seperti Merger PT dengan PT, Koperasi dengan Koperasi, dan sejenisnya.    

Kita dapat melihat bahwa pada pokoknya tindakan korporasi Merger ini dilakukan untuk tujuan-tujuan dan alasan pengembangan usaha serta mempertahankan eksistensi perusahaan itu sendiri agar lebih berkembang. Adapun alasan-alasan pokok yang mendasari perusahaan dalam melakukan Merger sebagai berikut[12]:

1.            Pertumbuhan atau diversifikasi
Perusahaan yang menginginkan pertumbuhan yang cepat, baik ukuran, pasar saham, maupun diversifikasi usaha dapat melakukan Merger. Perusahaan tidak memiliki resiko adanya produk baru. Selain itu, jika melakukan ekspansi dengan merger, maka perusahaan dapat mengurangi perusahaan pesaing atau mengurangi persaingan.
 
2.           Sinergi
Sinergi dapat tercapai ketika merger menghasilkan tingkat skala ekonomi (economies of scale). Tingkat skala ekonomi terjadi karena perpaduan biaya overhead meningkatkan pendapatan yang lebih besar daripada jumlah pendapatan perusahaan ketika tidak Merger. Sinergi tampak jelas ketika perusahaan yang melakukan Merger berada dalam bisnis yang sama karena fungsi dan tenaga kerja yang berlebihan dapat dihilangkan.

3.            Meningkatkan dana
Banyak perusahaan tidak dapat memperoleh dana untuk melakukan ekspansi internal, tetapi dapat memperoleh dana untuk melakukan ekspansi eksternal. Perusahaan tersebut menggabungkan diri dengan perusahaan yang memiliki likuiditas tinggi sehingga menyebabkan peningkatan daya pinjam perusahaan dan penurunan kewajiban keuangan. Hal ini memungkinkan meningkatnya dana dengan biaya rendah.

4.            Menambah ketrampilan manajemen atau teknologi
Beberapa perusahaan tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak adanya efisiensi pada manajemennya atau kurangnya teknologi. Perusahaan yang tidak dapat mengefisiensikan manajemennya dan tidak dapat membayar untuk mengembangkan teknologinya, dapat menggabungkan diri dengan perusahaan yang memiliki manajemen atau teknologi yang ahli.

5.            Pertimbangan pajak
Perusahaan dapat membawa kerugian pajak sampai lebih 20 tahun ke depan atau sampai kerugian pajak dapat tertutupi. Perusahaan yang memiliki kerugian pajak dapat melakukan akuisisi dengan perusahaan yang menghasilkan laba untuk memanfaatkan kerugian pajak. Pada kasus ini perusahaan yang mengakuisisi akan menaikkan kombinasi pendapatan setelah pajak dengan mengurangkan pendapatan sebelum pajak dari perusahaan yang diakuisisi. Bagaimanapun Merger tidak hanya dikarenakan keuntungan dari pajak, tetapi berdasarkan dari tujuan memaksimisasi kesejahteraan pemilik.

6.            Meningkatkan likuiditas pemilik
Merger antar perusahaan memungkinkan perusahaan memiliki likuiditas yang lebih besar. Jika perusahaan lebih besar, maka pasar saham akan lebih luas dan saham lebih mudah diperoleh sehingga lebih likuid dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil.

7.            Melindungi diri dari pengambilalihan
Hal ini terjadi ketika sebuah perusahaan menjadi target pengambilalihan yang tidak bersahabat. Pelaku Merger mengakuisisi perusahaan lain, dan membiayai pengambilalihannya dengan hutang, karena beban hutang ini, kewajiban perusahaan menjadi terlalu tinggi untuk ditanggung oleh perusahaan yang menerima Merger.

Dari keseluruhan definisi dan alasan di atas, definisi Merger ini dipandang oleh Brian Coyle[13] memiliki definisi yang luas dan sempit. Dalam definisi luas, Merger menunjuk pada setiap bentuk pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lain, pada saat kegiatan usaha dari kedua perusahaan tersebut disatukan. Sedangkan dalam definisi sempit merujuk pada kedua perusahaan dengan ekuitas yang hamper sama, menggabungkan sumber-sumber daya yang ada pada perusahaan menjadi satu bentuk usaha.


C.           KONSEP MERGER TERHADAP HUTANG DAN MODAL

Secara konseptual, Merger dapat di simulasikan sebagai berikut:

PT X ----------> PT Y = PT Y

Dari simulasi tersebut, dapat digambarkan bahwa setelah PT X bergabung dengan PT Y, maka eksistensi dari PT X berakhir dengan sendirinya karena hukum dan hanya ada satu eksistensi dari suatu badan usaha tersebut yaitu hanya ada eksistensi PT Y. Dengan terjadinya suatu proses tersebut, maka seluruh aktiva (Modal) dan pasiva (Hutang) miliki PT X beralih menjadi miliki PT Y.

Dari apa yang disumulasikan pada bagian tersebut di atas, Tri Budiyono dalam bukunya (Hukum Perusahaan)[14], terdapat beberapa unsur esensial terhadap Merger tersebut diantaranya:

1.      Merger merupakan suatu perbuatan hukum dimana perbuatan hukum tersebut melahirkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban;

2.        Merger dilakukan oleh karena ha penting yang pada dasarya meliputi keseluruhan aktiva dan pasiva;

3.    Merger hanya menyisakan satu badan usaha yang tetap ada, sedangkan keberadaan dari badan usaha lain setelah melakukan penggabungan menjadi berakhir karena hukum.


D.       AKIBAT HUKUM DAN KLASIFIKASI MERGER

AKIBAT HUKUM MERGER[15]

Sudah pasti dari perbuatan hukum Merger ini akan mengakibatkan akibat hukum yang apabila diklasifikasikan, maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut:

1.        Akibat hukum terhadap aktiva dan pasiva

Terhadap aktiva dan pasiva perusahaan yang menggabungkan diri, demi hukum akan beralih keseluruhannya kepada perusahaan yang menerima penggabungan.

2.        Akibat hukum kepada pemegang saham

Pemegang saham dari perusahaan yang menggabungkan diri, karena hukum menjadi pemegang saham perseroan yang menerima penggabungan.

3.        Akibat hukum pada perusahaan yang menggabungkan diri

Merger suatu perusahaan akan membawa implikasi terhadap perusahaan yang sebelumnya ada dan terlibat dalam proses penggabungan diri, yaitu:

a)        Perusahaan yang menggabungkan diri berakhir demi hukum sejak tanggal terjadinya penggabungan mulai berakhir;

b)  Perseroan yang menerima penggabungan, eksistensi atau keberadaan hukumnya tetap dipertahankan.


KLASIFIKASI MERGER[16]

Secara teoritis, Merger dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1.        Merger Horizontal (Horizontal Merger)

Merger horizontal merupakan penggabungan 2 (dua) perusahaan atau lebih dalam kegiatan usaha yang sama. Misalnya penggabungan 2 (dua) perusahaan atau lebih memiliki kegiatan usaha yang sama dibidang perbankan.

2.        Merger Vertikal (Vertical Merger)

Merger Vertikal merupakan penggabungan 2 (dua) perseroan atau lebih yang memiliki kegiatan usaha dalam jalur hulu-hilir. Maksudnya, antara perusahaan yang menggabungkan diri tersebut terhubung usaha yang bersifat input dan output.

3.        Merger Konglomerat (Conglomerate Merger)

Merger ini merupakan penggabungan 2 (dua) perseroan atau lebih yang tidak memiliki kesamaan bidang usaha. Sehingga aktivitas bisnis tidak terkaitkan sama sekali antara perusahaan yang menggabungkan diri dengan perusahaan yang menerima penggabungan.

4.        Merger Kongentif (Congentif Merger)

Merger Kongentif ini merupakan penggabungan 2 (dua) perseroan atau lebih yang kegiatan usahanya sejenis atau dalam industry yang sama, tetapi tidakmemproduksi barang yang sama dan juga tidak ada keterkaitan input dan output.


E.        TATA CARA PELAKSANAAN MERGER

Dalam melaksanakan Merger, harus tunduk pada ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Merger ini diatur pada UUPT No. 40 Tahun 2007 Pasal 122 sampai Pasal 133[17]. Adapun tata cara pelaksanaannya sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

1.        Direksi Perseroan yang akan menggabungkan diri dan menerima Penggabungan menyusun racangan Penggabungan dan harus mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris dari setiap Perseroan selanjutnya diajukan kepada RUPS masing-masing untuk mendapatkan persetujuan.

Adapun rancangan penggabungan tersebut harus memuat:

a.        Nama & tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan  Penggabungan;

b.  Alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan penggabungan dan Persyaratan Penggabungan;

c.         Tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan   yang menggabungkan diri terhadap saham Perseroan yang menerima Penggabungan;

d.  Rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima Penggabungan apabula ada;

e.        laporan keuangan yang meliputi 3 tahun buku terakir dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;

f.         Rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari perseroan yang akan melakukan Penggabungan;

g.        Neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;

h.        Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota  Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri;

i.          Cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga;

j.         Cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak  setuju terhadap Penggabungan Perseroan;

k.        Nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang menerima Penggabungan;

l.          Perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;

m.       Laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan  hasil yang dicapai dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;

n.        Kegiatan utama setiap Perseroan yang melakukan Penggabungan dan  Perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan

o.        Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan.

2.        Bagi Perseroan tertentu yang akan melakukan Penggabungan perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

3.        Penggabungan Perseroan wajib memperhatikan kepentingan:

a)        Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;

b)        Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan

c)        Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

4.        Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai Penggabungan sebagaimana dimaksud diatas hanya boleh melakukan haknya untuk meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar.

5.        Keputusan RUPS mengenai Penggabungan Perseroan harus memenuhi jumlah kuorum yang telah ditentukan.

6.        Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapluh) hari sebelum pemanggilan RUPS. Pengumuman tersebut juga memuat pemberitahuan bahwa pihak yang berkepentingan dapat memperoleh rancangan Penggabungan di kantor Perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan.

7.        Rancangan Penggabungan yang telah di setujui RUPS dituangkan ke dalam akta Penggabungan yang dibuat di hadapan notaries dalam bahasa Indonesia.

8.        Salinan akta Penggabungan Perseroan dilampirkan pada:

a)        pengajuan permohonan untuk mendapatkan persetujuan Menteri;

b)        penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar.

9.        Jika Penggabungan Perseroan tidak disertai perubahan anggaran dasar, salinan akta Penggabungan harus disampaikan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan.

10.     Direksi Perseroan yang menerima Penggabungan wajib mengumumkan hasil Penggabungan dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya Penggabungan,






[1] Lihat Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007, Pasal 122

[2] Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1998 tentang Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi

[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Merger
[4] M.E. Hitt., dkk., “Strategic Management”., South Western College Publishing: 2000

[5] http://www.investopedia.com/terms/m/merger.asp#axzz1sYby4yYr

[6] Brian A. Garner., “Black’s Law Dictionary”, Ninth Edition, Thompson West, 25 June 2009

[7] Brealey, Myers, & Marcus, 1999, Hal. 598

[8] Lihat Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007, Pasal 1 angka 9

[9] Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1998, tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas
[10] Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 Pasal 1 angka 1

[11] Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 Pasal 1 angka 1

[12] Gitman, 2003, Hal. 714-716
[13] Brian Coyle., “Mergers and Acquisitions”, Amacom, New York

[14] Budiyono Tri, S.H., M.Hum., “Hukum Perusahaan”, Griya Media: Februari 2011, Hal. 204-205
[15] M. Yahya Harahap, “Hukum Perseroan Terbatas”, Sinar Grafika: 2009, Hal. 485

[16] Budiyono Tri, S.H., M.Hum., Op. Cit. Hal 208-209
[17] Lihat Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Wednesday 11 April 2012

Dasar-Dasar Hukum Asuransi



A.                 DEFINISI DAN UNSUR ASURANSI
Menurut Ketentuan Pasal 246 KUHD, Asuransi atau Pertanggungan adalah Perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen (peristiwa tidak pasti).
Menurut Ketentuan Undang–undang No.2 tahun 1992 tertanggal 11 Pebruari 1992 tentang Usaha Perasuransian (“UU Asuransi”), Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Berdasarkan definisi tersebut di atas maka asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian dimana harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun dengan karakteristik bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat untung-untungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1774 KUH Perdata.
Menurut Pasal 1774 KUH Perdata, “Suatu persetujuan untung–untungan (kans-overeenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu”.
Beberapa hal penting mengenai asuransi:
  1. Merupakan suatu perjanjian yang harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata;
  2. Perjanjian tersebut bersifat adhesif artinya isi perjanjian tersebut sudah ditentukan oleh Perusahaan Asuransi (kontrak standar). Namun demikian, hal ini tidak sejalan dengan ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
  3. Terdapat 2 (dua) pihak di dalamnya yaitu Penanggung dan Tertanggung, namun dapat juga diperjanjikan bahwa Tertanggung berbeda pihak dengan yang akan menerima tanggungan;
  4. Adanya premi sebagai yang merupakan bukti bahwa Tertanggung setuju untuk diadakan perjanjian asuransi;
  5. Adanya perjanjian asuransi mengakibatkan kedua belah pihak terikat untuk melaksanakan kewajibannya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus ada pada Asuransi adalah:
  1. Subyek hukum (penanggung dan tertanggung);
  2. Persetujuan bebas antara penanggung dan tertanggung;
  3. Benda asuransi dan kepentingan tertanggung;
  4. Tujuan yang ingin dicapai;
  5. Resiko dan premi;
  6. Evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dan ganti kerugian;
  7. Syarat-syarat yang berlaku;
  8. Polis asuransi.
  1. B. TUJUAN ASURANSI
  1. a. Pengalihan Risiko
Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung.
  1. b. Pembayaran Ganti Kerugian
Jika suatu ketika sungguh–sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian yang besarnya seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam prakteknya kerugian yang timbul itu dapat bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh–sungguh diderita.
Dalam pembayaran ganti kerugian oleh perusahaan asuransi berlaku prinsip subrogasi (diatur dalam pasal 1400 KUH Per) dimana penggantian hak si berpiutang (tertanggung) oleh seorang pihak ketiga (penanggung/pihak asuransi) – yang membayar kepada si berpiutang (nilai klaim asuransi) – terjadi baik karena persetujuan maupun karena undang-undang.
  1. C. BERLAKUNYA ASURANSI
Hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung timbul pada saat ditutupnya asuransi walaupun polis belum diterbitkan. Penutupan asuransi dalam prakteknya dibuktikan dengan disetujuinya aplikasi atau ditandatanganinya kontrak sementara (cover note) dan dibayarnya premi. Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, penanggung atau perusahaan asuransi wajib menerbitkan polis asuransi (Pasal 255 KUHD).
D.                POLIS  ASURANSI
  1. 1. Fungsi Polis
Menurut ketentuan pasal 225 KUHD perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis yang memuat kesepakatan, syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban para pihak (penanggung dan tertanggung) dalam mencapai tujuan asuransi. Dengan demikian, polis merupakan alat bukti tertulis tentang telah terjadinya perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung.
Mengingat fungsinya sebagai alat bukti tertulis maka para pihak (khususnya Tertanggung) wajib memperhatikan kejelasan isi polis dimana sebaiknya tidak mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi sehingga dapat menimbulkan perselisihan (dispute).
  1. 2. Isi Polis
Menurut ketentuan pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat-syarat khusus berikut ini:
a. Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi;
b.  Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau pihak ketiga;
c. Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan;
d. Jumlah yang diasuransikan (nilai pertanggungan);
e. Bahaya-bahaya/ evenemen yang ditanggung oleh penanggung;
f.   Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung;
g. Premi asuransi;
h. Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala janji-janji khusus yang diadakan antara para pihak, antara lain mencantumkan BANKER’S CLAUSE, jika terjadi peristiwa (evenemen) yang menimbulkan kerugian penanggung dapat berhadapan dengan siapa pemilik atau pemegang hak.
Untuk jenis asuransi kebakaran Pasal 287 KUHD menentukan bahwa di dalam polisnya harus pula menyebutkan:
  1. Letak barang tetap serta batas-batasnya;
  2. Pemakaiannya;
  3. Sifat dan pemakaian gedung-gedung yang berbatasan, sepanjang berpengaruh terhadap obyek pertanggungan;
  4. Harga barang-barang yang dipertanggungkan;
  5. Letak dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat dimana barang-barang bergerak yang dipertanggungkan itu berada.
Untuk mengetahui perlindungan yang diberikan oleh suatu polis asuransi, perlu diperhatikan tujuh aspek penutupannya, yaitu:
  1. Bencana yang ditutup;
  2. Yang ditutup;
  3. Kerugian yang ditutup;
  4. Orang-orang yang ditutup;
  5. Lokasi-lokasi yang ditutup;
  6. Jangka waktu yang ditutup;
  7. Bahaya-bahaya yang dikecualikan.
  1. 3. Jenis Klausula Asuransi
Dalam perjanjian asuransi sering dimuat janji-janji khusus yang dirumuskan secara tegas dalam polis, yang lazim disebut Klausula asuransi yang maksudnya untuk mengetahui batas tanggung jawab penanggung dalam pembayaran ganti kerugian apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Jenis-jenis asuransi tersebut ditentukan oleh sifat objek asuransi itu, bahaya yang mengancam dalam setiap asuransi. Klausula-klausula yang dimaksud antara lain:
a.   Klausula Premier Risque
Klausula ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi dibawah nilai benda terjadi kerugian, penanggung akan membayar ganti kerugian seluruhnya sampai maksimum jumlah yang diasuransikan (Pasal 253 ayat 3 KUHD). Klausula ini biasa digunakan pada asuransi pembongkaran dan pencurian, asuransi tanggung jawab.
b.   Klausula All Risk
Klausula ini menentukan bahwa penanggung memikul segala resiko atau benda yang diasuransikan. ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian yang timbul akibat peristiwa apapun, kecuali kerugian yang timbul karena kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) dan karena cacat sendiri bendanya (Pasal 249 KUHD).
  1. Klausula Total Loss Only (TLO)
Klausula ini menentukan bahwa penanggung hanya  menanggung kerugian yang merupakan kerugian keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan.
  1. d. Klausula Sudah Diketahui (All Seen)
Klausula ini digunakan pada asuransi kebakaran. Klausula ini menentukan bahwa penanggung sudah mengetahui keadaan, konstruksi, letak dan cara pemakaian bangunan yang diasuransikan.
  1. e. Klausula Renunsiasi (Renunciation)
Menurut Klausula penanggung tidak akan menggugat tertanggung, dengan alasan pasal 251 KUHD, kecuali jika hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus diberlakuan secara jujur atau itikad baik dan sesuai dengan kebiasaan. berarti apabila timbul kerugian akibat evenemen tertanggung tidak memberitahukan keadaan benda objek asuransi kepada penanggung, maka penanggung tidak akan mengajukan pasal 251 KUHD dan penanggung akan membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung.
  1. Klausula Free Particular Average (FPA)
Bahwa penaggung dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (Particular Average) seperti ditentukan dalam pasal 709 KUHD dengan kata lain penanggung menolak pembayaran ganti kerugian yang diklaim oleh tertanggung yang sebenarnya timbul dari akibat peristiwa khusus yang sudah dibebaskan klausula FPA.
  1. g. Klausula Riot, Strike & Civil Commotion (RSCC)
Riot (kerusuhan) adalah tindakan suatu kelompok orang, minimal sebanyak 12 orang, yang dalam melaksanakan suatu tujuan bersama menimbulkan suasana gangguan ketertiban umum dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta pengrusakan harta benda orang lain, yang belum dianggap sebagai huru-hara.
Strike (pemogokan) adalah tindakan pengrusakan yang disengaja oleh sekelompok pekerja, minimal 12 orang pekerja atau separuh dari jumlah pekerja (dalam hal jumlah seluruh pekerja kurang dari 24 orang),yang menolak bekerja sebagaimana biasanya dalam usaha untuk memaksa majikan memenuhi tuntutan dari pekerja atau dalam melakukan protes terhadap peraturan atau persyaratan kerja yang diberlakukan oleh majikan.
Civil Commotion (huru-hara) adalah keadaan di suatu kota dimana sejumlah besar massa secara bersama-sama atau dalam kelompok-kelompok kecil menimbulkan suasana gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta rentetan pengrusakan sejumlah besar harta benda, sedemikian rupa sehingga timbul ketakutan umum, yang ditandai dengan terhentinya lebih dari separuh kegiatan normal pusat perdagangan/pertokoan atau perkantoran atau sekolah atau transportasi umum di kota tersebut selama minimal 24 jam secara terus menerus yang dimulai sebelum, selama atau setelah kejadian tersebut.
  1. 4. Hal yang harus diperhatikan:
Banker’s Clause atau Klausula Bank adalah suatu klausula yang tercantum dalam Polis yang hanya dicantumkan atas permintaan pihak Bank dimana dalam polis secara tegas dinyatakan bahwa Pihak Bank adalah sebagai penerima ganti rugi atas peristiwa yang terjadi atas obyek pertanggungan sebagaimana disebutkan dalam perjanjian asuransi (polis).
Klausula ini muncul sebagai akibat adanya hubungan hutang piutang antara Debitur dan Kreditur dimana obyek pertanggungan adalah menjadi jaminan Bank; sehingga klausula ini bukan merupakan standard yang pada umumnya tercantum dalam Polis.

E.                 JENIS ASURANSI

Asuransi pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa.
1. Asuransi Kerugian terdiri dari:
a. Asuransi Kebakaran;
b. Asuransi Kehilangan dan Kerusakan;
c. Asuransi laut;
d. Asuransi Pengangkutan;
e.  Asuransi Kredit.
2. Asuransi Jiwa terdiri dari
a.  Asuransi Kecelakaan;
b.  Asuransi Kesehatan;
c.  Asuransi Jiwa Kredit.
  1. F. BATALNYA ASURANSI
Suatu   pertanggungan atau asuransi karena pada hakekatnya adalah merupakan suatu perjanjian maka ia dapat pula diancam dengan resiko batal atau dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat syahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Selain itu KUHD mengatur tentang ancaman batal apabila dalam perjanjian asuransi:
  1. Memuat keterangan yang keliru atau tidak benar atau bila tertanggung tidak memberitahukan hal-hal yang diketahuinya sehingga apabila hal itu disampaikan kepada penanggung akan berakibat tidak ditutupnya perjanjian asuransi tersebut (Pasal 251 KUHD);
  2. Memuat suatu kerugian yang sudah ada sebelum perjanjian asuransi ditandatangani (Pasal 269 KUHD);
  3. memuat ketentuan bahwa tertanggung dengan pemberitahuan melalui  pengadilan membebaskan si penanggung dari segala kewajibannya yang akan datang (Pasal 272 KUHD);
  4. Terdapat suatu akalan cerdik, penipuan, atau kecurangan si tertanggung (Pasal 282 KUHD);
  5. Apabila obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak boleh diperdagangkan dan atas sebuah kapal baik kapal Indonesia atau kapal asing yang digunakan untuk mengangkut obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak boleh diperdagangkan (Pasal 599 KUHD).
G.                SANKSI
Terhadap pelanggaran ketentuan yang dilakukan Penanggung dan Tetanggung dapat dikenakan sanksi berupa:
  1. Sanksi Administratif, (berlaku hanya untuk perusahaan perasuransian, bukan pada tertanggung); dan
  2. Sanksi Pidana.
  1. 1. Sanksi Administratif
Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (“PP No.73/1992”) serta peraturan pelaksanaannya yang berkenaan dengan:
  1. Perizinan usaha;
  2. Kesehatan keuangan;
  3. Penyelenggaraan usaha;
  4. Penyampaian laporan;
  5. Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang pemeriksaan langsung;
dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan sanksi pencabutan izin usaha (Pasal 37 PP No.73/1992).
Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 37, maka terhadap:
  1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif Rp. 1.000.000.000 (satu juta Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan;
  2. Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan operasional tahunan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dikenakan denda administratif Rp. 500.000 (lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan (Pasal 38 PP No.73/1992).
  1. 2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur dalam Pasal 21 UU Asuransi, berikut ini:
  1. a. Terhadap pelaku utama
Orang yang menjalankan atu menyuruh menjalankan usaha perasuransian tanpa izin usaha, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta Rupiah).
  1. b. Terhadap pelaku pembantu
Orang yang menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan atau menjal kembali kekayaan perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut yang diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang–barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, dianjam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta Rupiah).
  1. c. Terhadap pemalsu dokumen
Orang yang secara sendiri–sendiri atau bersama–sama melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta Rupiah).