Simply Me

Simply Me

Tuesday 28 February 2012

DAMPAK MERGER DAN AKUISISI TERHADAP HUBUNGAN KETENAGAKERJAAN


Mengenai perjanjian kerja, dampak pengambilalihan dan penggabungan perusahaan terhadap serikat buruh adalah sebagai berikut:

1.      Dalam hal pengambilalihan perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama;

2.      Dalam hal penggabungan dan kedua perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja;

3.     Dalam hal penggabungan dan hanya salah satu perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (penggabungan) sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.

Sedangkan mengenai status hubungan kerja, dampak pengambilalihan dan penggabungan perusahaan adalah sebagai berikut:

1.       Hubungan kerja terus berlanjut;

2.   Pengusaha dapat melakukan PHK, dalam hal pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali dan uang penggantian hak. Jadi jika pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, bukan dianggap sebagai pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam pasal 162 dan pasal 168 UUK;

3.   Pengusaha dapat melakukan PHK, dalam hal pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan, dan uang penggantian. Jadi bukan dengan alasan efisiensi atau merugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 164 ayat (3) UUK.

Dalam prakteknya, beberapa permasalah muncul dan menjadi obyek sengketa dalam hal terjadi penggabungan dan pengambilalihan, yaitu:

1.      Dalam hal hubungan kerja berlanjut, siapakah pihak dalam hubungan kerja?

Jika melihat dari Pasal 52  ayat (1) jo Pasal 54 ayat (1) UUK, maka hubungan kerja adalah dengan perusahaan yang dengannya pekerja melakukakan perjanjian kerja. Namun dalam hal terjadi penggabungan, maka perusahaan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum (Pasal 122 ayat 1 UUPT).

Dalam hal ini hubungan pekerja beralih ke perusahaan yang menggabungkan diri, dan masa kerja sebelum penggabungan/pengambilalihan tetap dihitung. Hal ini didasarkan pada penafsiran secara sistematis denan pasal 131 UUK yang menyatakan perjanjian kerja bersama yang telah dibuat tetap berlaku dalam hal perusahaan menggabungkan diri, sampai perjanjian kerja bersama tersebut berakhir. (lihat pasal 131 UUK)
Status pekerja  ini harus dinyatakan di dalam rancangan penggabungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 123 ayat (1), (2) huruf (h), ayat (4) dan Pasal 126 ayat (6) huruf i UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (”UUPT”).

Dalam hal terjadi pengambilalihan dan hubungan kerja tetap berlanjut, maka status hubungan kerja buruh tetap dengan perusahaan yang membuat perjanjian kerja. Hal ini karena pengambilalihan tidak mengakibatkan status perusahaan yang dipengambilalihan berakhir demi hukum, namun dalam organisasi perusahaan akan ada perubahan komposisi pemegang saham, suara dominan dalam RUPS dan berpeluang adanya penggantian Direksi.

2.      Siapakah yang memutuskan hubungan kerja berlanjut atau tidak?

    1. Pekerja dapat memutuskan hubungan kerja berlanjut atau tidak, dalam hal ini berbeda dengan pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 dan Pasal 168 (Pasal; 163 ayat 1 UUK);
    1. Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja berlanjut atau tidak setelah melakukan RUPS, rapat dengan komisaris dan membuat rancangan penggabungan atau pengambilalihan (Pasal 163 ayat 2 UUK jo Pasal 123 dan Pasal 125 UUPT)

AKUISISI ADALAH SALAH SATU AKSI KORPORASI


Salah satu aksi korporasi yang cukup sering dilakukan adalah pengambilalihan. Dalam istilah populernya adalah akuisisi, yaitu setiap perbuatan hukum untuk mengambil alih seluruh atau sebagian besar saham dan/atau aset dari perusahaan lain. Namun menurut pengertian UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas hanya mengisyaratkan saham yang dapat diambil alih. Jadi, tidak termasuk akuisisi aset atau akuisisi bisnis lainnya.

Pengambilalihan yang dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan, maka direksi sebelum mengambil keputusan melakukan pengambilalihan harus berdasarkan RUPS yang memenuhi kuorum kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Sedangkan mengenai tentang pengambilalilan yang dilakukan oleh direksi diatur dalam ayat yang lain.

Proses akuisisi juga dapat dilakukan dengan melakukan pengambilalihan saham dilakukan dengan pemegang saham target secara langsung yang dilakukan dengan prinsip “bebas jual” artinya membebaskan pemagang saham menjual sahamnya dengan bebas, namun tetap ada batasannya. Batasan yang paling sering adalah Berlaku Hak Tolak Pertama, serta hanya dijual kepada warga negara Indonesia, lebih khusus lagi bagi perusahaan yang bukan perusahaan penanaman modal asing .

Beberapa Bentuk Perusahaan di Indonesia
Dalam UU No. 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan yang dimaksud dengan Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba . Bagi Molengraaf definisi itu mungkin sedikit berbeda, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus.-menerus, bertindak keluar untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan .

Macam-macam bentuk perusahaan di Indonesia yang terdapat pada lampiran I Keputusan Menteri Perdagangan No. 1458/Kp/XII/84 serta Bab V pasal 11 sampai dengan pasal 16 UU No. 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, adalah sebagai berikut :

1.          Perusahaan Perseorangan atau lazim disebut Perusahaan Dagang merupakan perusahaan yang didirikan oleh satu orang saja sebagai pemodal.

2.      Persekutuan Firma ialah setiap persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama, kongsi, serta kerja sama.

3.          Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap adalah persekutuan firma yang memiliki satu atau beberapa orang sekutu komanditer. Sebenarnya ada dua macam sekutu dalam CV, yakni sekutu komanditer/aktif , serta sekutu komplementer/pasif

4.          Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

5.             Lain-lain seperti misalnya BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Dalam hal ini pasal 16 UU No. 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan tidak menyebutkan bahwa perusahaan yang dimaksud adalah BUMN. Dalam pasal 16 hanya penyebutan perusahaan di luar pasal 11-15, jadi BUMN hanya sebagai contoh di sini. BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

6.        Yang terakhir adalah Perseroan Terbatas, meskipun dalam macam-macam perusahaan di UU No. 3 tahun 1982 tidak disebutkan dalam urutan paling bawah, yakni pasal 13, namun karena ini lebih banyak disinggung porsinya di sini, maka penempatannya ditaruh di bagian terakhir. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya .

Peraturan ini mengandung arti bahwa Perseroan Terbatas sebagai badan hukum yang juga sebagai perkumpulan modal. Di sini juga tempat melakukan kerja sama yang menghasilkan badan hukum sebagai suatu ”artificial person”. Sebagai ”artificial person” pula, perseroan tidak mungkin memilki kehendak sehingga juga tidak dapat melakukan tindakannya sendiri .
Untuk keperluan itu dikenal adanya tiga organ perseroan, yaitu :

1.       Direksi;

2.       Komisaris;

3.       Rapat Umum Pemegang Saham.

Tinjauan tentang Pengambilalihan
Biasanya merger, konsolidasi, maupun akuisisi ditempuh oleh perusahaan-perusahaan besar guna meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan, selain itu ada beberapa tujuan yang lebih spesifik, yaitu :

1.       Membeli product lines untuk melengkapi product lines dari perusahaan yang akan mengambil alih.

2.       Untuk memperoleh akses pada teknologi baru atau lebih baik pada perusahaan yang menjadi objek pengambilalihan.

3.       Memperoleh pasar atau pelanggan baru.

4.       Memperoleh hak pemasaran atau hak produksi yang belum dimiliki.

5.       Memperoleh kepastian atas pemasokan bahan baku yang kualitasnya baik yang dipasok perusahaan objek akuisisi.

6.       Melakukan investasi atas keuangan perusahaan yang berlebih dan tidak terpakai.

7.       Mengurangi atau menghambat persaingan.

8.       Mempertahankan kontinuitas bisnis.

Istilah akuisisi sendiri berasal dari bahasa Inggris ”acquisition” yang dalam sering disebut juga dengan “take over”. Yang dimaksud dengan ”acquisition” atau ”take over” tersebut ialah pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain (one company taking over controlling interest in another company). Ungkapan take over sendiri terdiri dari ”friendly take over” (akuisisi bersahabat) atau akuisisi biasa, serta “hostile take over” (akuisisi tidak bersahabat) atau sering diistilahkan sebagai pencaplokan perusahaan. Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara membeli hak suara dari perusahaan (the firm voting stock) atau dengan kata lain membeli saham dari perusahaan tersebut .

Hal ini juga sejalan dengan pasal 125 ayat (1) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menerangkan bahwa pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham. Hal ini menguatkan bahwa akuisisi itu adalah akuisisi saham (acquisition of stock) dan bukan akuisisi aset (acquisition of assets).

Dasar Yuridis Pengambilalihan
Dasar hukum akuisisi adalah jual beli, di mana perusahaan pengakuisisi akan menerima hak milik atas saham, dan sebaliknya perusahaan terakuisisi menerima penyerahan hak atas sejumlah uang harga saham tersebut. Apabila saham tersebut atas nama, maka penyerahannya dilakukan dengan cessie (hak tagih) sesuai pasal 6 KUH Perdata .

Ketentuan yuridis secara umum mengenai pengambilalihan atau akuisisi yakni pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Jika pengambilalihan dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi harus mendapat persetujuan dari RUPS . Namun jika pengambilalihan dilakukan melalui direksi, maka pihak yang akan mengakuisisi menyampaikan maksudnya kepada direksi perseroan yang hendak diakuisisi .

Ketentuan lanjutan dalam pasal 125 ayat (7) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat rancangan pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih .

Larangan dalam Akusisi
Layaknya peraturan hukum yang lain, maka dalam peraturan mengenai akuisisi terdapat pula beberapa larangan terkait dengan akuisisi. Karena tidak mungkin aksi korporasi tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu, dan sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk melindungi kepentingan semua pihak. Dalam UU. No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terdapat larangan dalam akuisisi yang menyebutkan bahwa perbuatan hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan pihak-pihak sebagai berikut :

a.       Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;

b.       kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan

c.       masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

AKUISISI & PROSES LEGAL DUE-DILIGENCE DALAM AKUISISI PERSEROAN TERBATAS

A.      DEFINISI AKUISISI ATAU PENGAMBILALIHAN

Menurut Prof. Felix Oentoeng Soebagjo, akuisisi perusahaan itu pada dasarnya berbeda dengan merger dan juga berbeda dengan dengan konsolidasi (peleburan). Jika yang dilakukan adalah akuisisi perusahaan, maka baik pihak yang melakukan akuisisi maupun pihak yang diakuisisi tetap eksis. Pihak yang melakukan akuisisi tersebut akan menjadi pengendali dari pihak yang akan di akuisisi. Perbedaannya dengan merger adalah bahwa pada suatu merger yang dilakukan secara penuh dan tuntas, akan menjadikan salah satu diantara pihak-pihak yang akan melakukan merger menjadi surviving company, sedangkan pihak-pihak lainnya merupakan disappearing company. Di lain pihak, jika para pihak memilih melakukan konsolidasi, maka yang akan menjadi surviving company adalah perusahaan yang baru yang didirikan oleh para pihak sedangkan perusahaan yang menjadi peserta peleburan menjadi pendiri dari perusahaan disappearing company.

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT), diatur mengenai definisi pengambilalihan adalah sebagai berikut :

"Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Badan Hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut".

Berdasarkan definisi pengambilalihan sebagaimana yang dimaksud diatas, maka dapat ditarik beberapa unsur yang melekat dalam pengambilalihan antara lain, yaitu :

1.       Pengambilalihan adalah suatu perbuatan hukum;

2.       Pihak yang mengambilalih adalah orang atau Badan Hukum;

3.       Metode pengambilalihan dengan cara melakukan pengambilalihan saham; dan

4.    Pengambilalihan saham itu dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan Terbatas tersebut.

5.     Menurut Prof. Felix Oentoeng Subagjo, pengambilalihan saham yang diambilalih tersebut harus bersifat signifikan dimana pengambilalihan saham tersebut memungkinkan orang atau badan hukum yang mengambilalih itu dapat mengendalikan Perseroan yang diambilalih, dan jika saham yang diambilalih tersebut tidak signifikan atau yang bersangkutan hanya menjadi pemegang saham mayoritas di Perseroan yang bersangkutan, maka pengambilalihan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pengambilalihan atau akuisisi.


B.      KLASIFIKASI PENGAMBILALIHAN PERSEROAN

Pengambilalihan saham atas perseroan dapat dipandang melalui 3 (tiga) sisi, yakni menurut jenis usaha perseroan yang dikaitkan dengan pemasaran, menurut subjek yang melakukan pengambilalihan, dan dilihat dari segi objek transaksi pengambilalihan.

Berdasarkan jenis usaha perseroan atau yang dikaitkan dengan pemasaran, pengambilalihan dapat dibedakan menjadi :

1.    Pengambilalihan Horizontal yakni pengambilalihan yang bertujuan untuk mengambilalih Perseroan pesaing secara langsung yang mempunyai produk barang atau jasa yang sama ataupun memiliki wilayarah pemasaran yang sama. Contohnya adalah pengambilalihan saham PT H.M. SAMPOERNA, Tbk yang diambilalih oleh PHILIP MORRIS, Ltd.

2.       Pengambilalihan Vertikal adalah pengambilalihan yang bertujuan untuk menguasai sejumlah mata rantai produksi dan distribusi dari hulu sampai hilir. Misalnya, PT X adalah Perseroan yang memproduksi mie instant mengambil alih PT Y yang merupakan produsen tepung terigu dimana industri tepung terigu merupakan hulu dari industri mie instant.

3.       Pengambilalihan Konglomerat adalah pengambilalihan yang ditujukan untuk mengambilalih Perseroan lain yang tidak memiliki kaitan bisnis secara langsung dengan Perseoran yang diambilalih.

Apabila dilihat dari sisi subjek yang melakukan pengambilalihan, maka dapat dibedakan atas :

1.    Pengambilalihan Eksternal yakni merupakan pengambilalihan yang terjadi dalam dua Perseroan atau lebih dan tidak berada dalam 1 (satu) holding company. Contohnya adalah pengambilalihan PT H.M. SAMPOERNA, Tbk yang diambilalih oleh PHILP MORRIS, Ltd.

2.   Pengambilalihan Internal adalah pengambilalihan dimana baik Perseroan yang diambilalih maupun Perseroan yang akan diambilalih berada dalam 1 (satu) holding company. Contohnya, pengambilalihan yang pernah dilakukan oleh BAKRI & BROTHERS terhadap PT INDOCOPPER INVESTAMA CORPORATION, dimana PT INDOCOPPER INVESTAMA CORPORATION merupakan anak perusahaan dari PT BAKRI & BROTHERS.

Apabila dilihat dari segi objek transaksi pengambilalihan, pengambilalihan atau akuisisi dapat dibedakan sebagai berikut :

1.    Akusisi Saham, dimana pihak yang mengambilalih atau mengakuisisi perusahaan yang diambilalih secara signifikan yang memungkinkan pihak yang mengambilalih mampu memegang kendali atas management perusahaan target. Untuk itu, dalam rangka melakukan akusisi saham tersebut, seseorang atau badan hukum harus menjadi pemegang saham mayoritas dalam suatu Perseroan.

2.     Akusisi Asset, dimana yang diambilalih adalah aset perseroan target dengan atau tanpa ikut mengambilalih seluruh kewajiban Perseroan target terhadap pihak ketiga. Sebagai kontraprestasi dari akuisisi ini, pihak yang mengakuisisi memberikan suatu harga yang pantas dengan cara yang sama seperti akuisisi saham.

3.   Akuisisi Kombinasi, dimana pengambilalihan merupakan kombinasi antara akuisisi saham dan akuisisi asset. Misalnya dilakukan akuisisi sebesar 50% (lima puluh persen) asset perusahaan target. Demikian juga dengan kontraprestasinya, dapat saja dibayar sebagian dengan tunai dan sebagian lagi dengan saham perusahaan pengambilalih.

4.   Akusisi Bertahap, dimana akuisisi tersebut tidak dilaksanakan sekaligus. Misalnya, Perseroan target memberikan convertible bonds (obligasi yang dapat dikonversi menjadi saham), sementara Perseroan pengambilalih menjadi pembelinya. Dalam hal ini, pada tahap pertama, pihak yang mengambilalih memberikan dana ke Perseroan target melalui pembelian bonds (obligasi). Pada tahap selanjutnya, obligasi tersebut dengan ditukar saham, jika kinerja Perseroan yang akan diambilalih membaik.

5.   Akusisi Kegiatan Usaha, dimana kegiatan usaha yang diambilalih hanya kegiatan usaha termasuk jaringan bisnis, alat produksi, hak kekayaan intelektual dan lain sebagainya.

Dari klasifikasi mengenai objek transaksi pengambilalihan diatas, UUPT hanya mengakui transaksi pengambilalihan saham sebagai satu-satunya mekanisme pengambilalihan saham.


C.      TAHAPAN PENGAMBILALIHAN

Pengambilalihan saham harus dilakukan dengan cara melakukan pengambilalihan saham secara signifikan atas saham yang telah dikeluarkan dan/atau yang akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau dari Pemegang Saham secara langsung.

Dalam hal pengambilalihan saham dilakukan oleh Badan Hukum, maka Direksi sebelum melakukan perbuatan pengambilalihan saham tersebut harus didasarkan pada Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang memenuhi persyaratan pengambilan keputusan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 89 UUPT, dimana RUPS tersebut harus dihadiri oleh 3/4 (tiga seperempat) bagian dari jumlah keseluruhan saham dengan hak suara hadir/diwakili dalam RUPS. RUPS ini baru akan sah apabila rencana akuisisi tersebut disetujui paling sedikit oleh 3/4 (tiga seperempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali jika anggaran dasar mengatur kuorum yang lebih besar. Apabila kuorum kehadiran dalam RUPS pertama tidak tercapai, maka dapat diadakan RUPS kedua, dimana RUPS kedua tersebut baru dinyatakan sah apabila dalam RUPS tersebut dihadiri paling sedikit oleh 2/3 (dua sepertiga)bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir/diwakili dalam RUPS. Keputusan RUPS baru dikatakan sah apabila keputusan atas rencana akuisisi tersebut disetujui oleh 3/4 (tiga seperempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali jika anggaran dasar PT mengatur kuorum yang lebih besar. Ketentuan penyelenggaraan kuorum RUPS tersebut juga berlaku bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain di dalam Peraturan Perundang-Undangan dalam bidang Pasar Modal.

Dalam hal pengambilalihan dilakukan oleh Direksi, pihak yang mengambilalih harus menyampaikan maksudnya untuk melakukan pengambilalihan tersebut kepada Direksi Perseroan yang diambilalih, dimana pihak yang akan mengambilalih tersebut adalah perseroan atau badan hukum lain yang bukan perseroan atau perseorangan. Dalam hal pengambilalihan dilakukan oleh Direksi, maka pihak yang akan mengambilalih dan perseroan yang akan diambilalih dengan persetujuan komisaris masing-masing Perseroan menyusun rancangan pengambilalihan yang memuat sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut :

1.     Nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang akan diambilalih dan perseroan yang akan mengambilalih.

2.    Alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambilalih dan Direksi Perseroan yang akan diambilalih.

3.     Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) UUPT untuk tahun buku terakhir dari Perseroan yang akan mengambilalih dan Perseroan yang akan diambilalih.

4.   Tata cara penilaian dan konversi saham dari perseroan yang akan diambilalih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran pengambilalihan dengan saham.

5.      Jumlah saham yang akan diambilalih.

6.      Kesiapan pendanaan.

7.  Neraca konsolidasi performa Perseroan yang akan mengambilalih setelah pengambilalihan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntasi yang berlaku umum di Indonesia.

8.  Cara penyelesaian hak Pemegang Saham yang tidak setuju terhadap pengambilalihan.

9.    Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Komisaris dan Karyawan Perseoran yang diambilalih.

10.  Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengambilalihan, termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan saham dari Pemegang Saham kepada Direksi Perseroan.

11.    Rancangan perubahan Anggaran Dasar Perseroan hasil pengambilalihan jika ada.

Apabila pengambilalihan saham tersebut dilakukan langsung dari Pemegang Saham maka ketentuan Pasal 125 ayat (5) dan (6) UUPT diatas, tidak berlaku. Dengan demikian, pengambilalihan saham perseroan lain secara langsung dari Pemegang Saham tidak perlu didahului dengan membuat rencangan pengambilalihan. Kedua belah pihak langsung melakukan perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambilalih dengan Pemegang Saham. Walaupun demikian, Pengambilalihan Saham secara langsung ini tetap wajib memperhatikan Anggaran Dasar Perseroan yang diambilalih tentang pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah dibuat oleh Perseroan dengan pihak lain.


D.      HAK-HAK PEMEGANG SAHAM MINORITAS DALAM PENGAMBILALIHAN

Apabila ada Pemegang Saham yang tidak setuju dengan adanya pengambilalihan Perseroan, padahal RUPS dengan suara mayoritas tertentu telah memutuskan untuk melakukan pengambilalihan, maka pemegang saham tersebut oleh hukum diberikan suatu hak khusus yang disebut dengan Appraisal Right.

Appraisal Right adalah Suatu hak yang dimiliki oleh Pemegang Saham yang tidak setuju terhadap pengambilalihan tetapi mereka kalah suara dalam forum RUPS atau tindakan corporate lainnya untuk menjual saham yang dipegangnya kepada Perseroan yang bersangkutan, sedangkan Perseroan yang menerbitkan saham tersebut wajib membeli kembali saham Perseroan yang diterbitkan tersebut dengan harga yang wajar.

Pasal 126 ayat (1) UUPT menentukan bahwa perbuatan hukum pengambilalihan tersebut wajib memperhatikan kepentingan :

1.      Perseroan, Pemegang Saham Minoritas, Karyawan Perseroan;

2.      Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan;

3.      Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Menurut ketentuan Pasal 125 ayat (3) UUPT dijelaskan bahwa walaupun pemegang saham minoritas tersebut memiliki hak appraisal, namun pelaksanaan tersebut tidak menghentikan proses pelaksanaan pengambilalihan, dimana pemegang saham tersebut hanya memiliki hak untuk menuntut agar Perseroan membeli saham yang mereka miliki sesuai dengan harga yang wajar sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 123 ayat (2) huruf c jo. Pasal 125 ayat (6) huruf d UUPT.


E.      LEGAL DUE-DILIGENCE OF ACQUISITION

Legal Due-Diligence diperlukan dan dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data objektif berkaitan dengan suatu rencana transaksi. Menurut Prof. Felix Oentoeng Soebagjo, dalam transaksi terkait dengan pengambilalihan saham, aspek Legal Due-Diligence yang dilakukan dengan menganalisa aspek-aspek berikut :

1.        Hambatan dan batasan yang ada atau yang mungkin timbul terhadap rencana pengambilalihan saham dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, anggaran dasar, perijinan, perjanjian dan perkara yang dihadapi.

2.  Akibat hukum dari pengambilalihan saham terhadap pihak-pihak yang bertransaksi.

3.    Struktur permodalan dan Pemegang Saham sebelum dan sesudah pengambilalihan saham dari perusahaan yang diambilalih yang menunjukan siapa yang menjadi pihak pengendali.

4.      Aktiva dan Passiva dari perusahaan yang diambilalih (apabila ada).

5. Tindakan korporasi dan persetujuan-persetujuan yang diperlukan untuk melaksanakan transaksi pengambilalihan saham.

6.      Keabsahan pemilikan saham oleh penjual dan pembebanan atas saham (bila ada); dan

7.       Syarat dan ketentuan penting dalam perjanjian pengambilalihan saham.

Prosedur Pengambilalihan (akuisisi) saham


Prosedur pengambilalihan (akuisisi) saham perseroan terbatas wajib tunduk pada ketentuan tentang akuisisi saham sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang antara lain mengatur:

1.    Akuisisi saham wajib memperhatikan ketentuan pemindahan hak atas saham dalam Anggaran Dasar, serta mendapat persetujuan rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). RUPS wajib dilakukan paling lambat 30 9tiga puluh) hari setelah pengumuman.

2.   Direksi perseroan yang akan melakukan akuisisi wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari perseroan dalam waktu paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan RUPS.

3.      Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada perseroan dalam waktu paling lambat 14 hari setelah pengumuman mengenai akuisisi sesuai dengan rancangan dimaksud. Apabila kreditor tidak mengajukan keberatan dlm jangka waktu tersebut maka kreditor dianggap mneyetujui akuisisi. dalam hal kebeartan dari kreditor sampai dengan tanggal diselenggarakannya RUPS tidak dapat diselesaikan oleh Direksi perseroan maka keberatan tersebut harus disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian. Sebelum keberatan ini diselesaikan maka akuisisi tidak dapat dilaksanakan.

4.    Akta pemindahan hak atas saham wajib dinyatakan dengan akta notaris dan dalam bahasa Indonesia.

5.    Salinan dari kata pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang perubahan Struktur Pemegang Saham Perseroan.

6.    Direksi perseroan wajib mengumumkan hasil akuisisi dalam 1 surat kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ataus ejak tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Catatan:

a.    Akuisisi saham efektif pada saat persetujuan perubahan anggaran Dasar perseroan diperoleh dari Menkumham (bila akuisisi menyebabkan perubahan Anggaran Dasar). namun bila akuisisi tidak menyebabkan perubahan Anggaran dasar maka akuisisi akan mejadi efektif pada saat Anggaran Dasar Perseroan didaftarkan.

b.    Peraturan lain terkait adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Merger, Konsolidasi dan Pengambilalihan.