Simply Me

Simply Me

Wednesday 11 April 2012

Dasar-Dasar Hukum Asuransi



A.                 DEFINISI DAN UNSUR ASURANSI
Menurut Ketentuan Pasal 246 KUHD, Asuransi atau Pertanggungan adalah Perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen (peristiwa tidak pasti).
Menurut Ketentuan Undang–undang No.2 tahun 1992 tertanggal 11 Pebruari 1992 tentang Usaha Perasuransian (“UU Asuransi”), Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Berdasarkan definisi tersebut di atas maka asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian dimana harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun dengan karakteristik bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat untung-untungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1774 KUH Perdata.
Menurut Pasal 1774 KUH Perdata, “Suatu persetujuan untung–untungan (kans-overeenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu”.
Beberapa hal penting mengenai asuransi:
  1. Merupakan suatu perjanjian yang harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata;
  2. Perjanjian tersebut bersifat adhesif artinya isi perjanjian tersebut sudah ditentukan oleh Perusahaan Asuransi (kontrak standar). Namun demikian, hal ini tidak sejalan dengan ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
  3. Terdapat 2 (dua) pihak di dalamnya yaitu Penanggung dan Tertanggung, namun dapat juga diperjanjikan bahwa Tertanggung berbeda pihak dengan yang akan menerima tanggungan;
  4. Adanya premi sebagai yang merupakan bukti bahwa Tertanggung setuju untuk diadakan perjanjian asuransi;
  5. Adanya perjanjian asuransi mengakibatkan kedua belah pihak terikat untuk melaksanakan kewajibannya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus ada pada Asuransi adalah:
  1. Subyek hukum (penanggung dan tertanggung);
  2. Persetujuan bebas antara penanggung dan tertanggung;
  3. Benda asuransi dan kepentingan tertanggung;
  4. Tujuan yang ingin dicapai;
  5. Resiko dan premi;
  6. Evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dan ganti kerugian;
  7. Syarat-syarat yang berlaku;
  8. Polis asuransi.
  1. B. TUJUAN ASURANSI
  1. a. Pengalihan Risiko
Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung.
  1. b. Pembayaran Ganti Kerugian
Jika suatu ketika sungguh–sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian yang besarnya seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam prakteknya kerugian yang timbul itu dapat bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh–sungguh diderita.
Dalam pembayaran ganti kerugian oleh perusahaan asuransi berlaku prinsip subrogasi (diatur dalam pasal 1400 KUH Per) dimana penggantian hak si berpiutang (tertanggung) oleh seorang pihak ketiga (penanggung/pihak asuransi) – yang membayar kepada si berpiutang (nilai klaim asuransi) – terjadi baik karena persetujuan maupun karena undang-undang.
  1. C. BERLAKUNYA ASURANSI
Hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung timbul pada saat ditutupnya asuransi walaupun polis belum diterbitkan. Penutupan asuransi dalam prakteknya dibuktikan dengan disetujuinya aplikasi atau ditandatanganinya kontrak sementara (cover note) dan dibayarnya premi. Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, penanggung atau perusahaan asuransi wajib menerbitkan polis asuransi (Pasal 255 KUHD).
D.                POLIS  ASURANSI
  1. 1. Fungsi Polis
Menurut ketentuan pasal 225 KUHD perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis yang memuat kesepakatan, syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban para pihak (penanggung dan tertanggung) dalam mencapai tujuan asuransi. Dengan demikian, polis merupakan alat bukti tertulis tentang telah terjadinya perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung.
Mengingat fungsinya sebagai alat bukti tertulis maka para pihak (khususnya Tertanggung) wajib memperhatikan kejelasan isi polis dimana sebaiknya tidak mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi sehingga dapat menimbulkan perselisihan (dispute).
  1. 2. Isi Polis
Menurut ketentuan pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat-syarat khusus berikut ini:
a. Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi;
b.  Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau pihak ketiga;
c. Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan;
d. Jumlah yang diasuransikan (nilai pertanggungan);
e. Bahaya-bahaya/ evenemen yang ditanggung oleh penanggung;
f.   Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung;
g. Premi asuransi;
h. Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala janji-janji khusus yang diadakan antara para pihak, antara lain mencantumkan BANKER’S CLAUSE, jika terjadi peristiwa (evenemen) yang menimbulkan kerugian penanggung dapat berhadapan dengan siapa pemilik atau pemegang hak.
Untuk jenis asuransi kebakaran Pasal 287 KUHD menentukan bahwa di dalam polisnya harus pula menyebutkan:
  1. Letak barang tetap serta batas-batasnya;
  2. Pemakaiannya;
  3. Sifat dan pemakaian gedung-gedung yang berbatasan, sepanjang berpengaruh terhadap obyek pertanggungan;
  4. Harga barang-barang yang dipertanggungkan;
  5. Letak dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat dimana barang-barang bergerak yang dipertanggungkan itu berada.
Untuk mengetahui perlindungan yang diberikan oleh suatu polis asuransi, perlu diperhatikan tujuh aspek penutupannya, yaitu:
  1. Bencana yang ditutup;
  2. Yang ditutup;
  3. Kerugian yang ditutup;
  4. Orang-orang yang ditutup;
  5. Lokasi-lokasi yang ditutup;
  6. Jangka waktu yang ditutup;
  7. Bahaya-bahaya yang dikecualikan.
  1. 3. Jenis Klausula Asuransi
Dalam perjanjian asuransi sering dimuat janji-janji khusus yang dirumuskan secara tegas dalam polis, yang lazim disebut Klausula asuransi yang maksudnya untuk mengetahui batas tanggung jawab penanggung dalam pembayaran ganti kerugian apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Jenis-jenis asuransi tersebut ditentukan oleh sifat objek asuransi itu, bahaya yang mengancam dalam setiap asuransi. Klausula-klausula yang dimaksud antara lain:
a.   Klausula Premier Risque
Klausula ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi dibawah nilai benda terjadi kerugian, penanggung akan membayar ganti kerugian seluruhnya sampai maksimum jumlah yang diasuransikan (Pasal 253 ayat 3 KUHD). Klausula ini biasa digunakan pada asuransi pembongkaran dan pencurian, asuransi tanggung jawab.
b.   Klausula All Risk
Klausula ini menentukan bahwa penanggung memikul segala resiko atau benda yang diasuransikan. ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian yang timbul akibat peristiwa apapun, kecuali kerugian yang timbul karena kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) dan karena cacat sendiri bendanya (Pasal 249 KUHD).
  1. Klausula Total Loss Only (TLO)
Klausula ini menentukan bahwa penanggung hanya  menanggung kerugian yang merupakan kerugian keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan.
  1. d. Klausula Sudah Diketahui (All Seen)
Klausula ini digunakan pada asuransi kebakaran. Klausula ini menentukan bahwa penanggung sudah mengetahui keadaan, konstruksi, letak dan cara pemakaian bangunan yang diasuransikan.
  1. e. Klausula Renunsiasi (Renunciation)
Menurut Klausula penanggung tidak akan menggugat tertanggung, dengan alasan pasal 251 KUHD, kecuali jika hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus diberlakuan secara jujur atau itikad baik dan sesuai dengan kebiasaan. berarti apabila timbul kerugian akibat evenemen tertanggung tidak memberitahukan keadaan benda objek asuransi kepada penanggung, maka penanggung tidak akan mengajukan pasal 251 KUHD dan penanggung akan membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung.
  1. Klausula Free Particular Average (FPA)
Bahwa penaggung dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (Particular Average) seperti ditentukan dalam pasal 709 KUHD dengan kata lain penanggung menolak pembayaran ganti kerugian yang diklaim oleh tertanggung yang sebenarnya timbul dari akibat peristiwa khusus yang sudah dibebaskan klausula FPA.
  1. g. Klausula Riot, Strike & Civil Commotion (RSCC)
Riot (kerusuhan) adalah tindakan suatu kelompok orang, minimal sebanyak 12 orang, yang dalam melaksanakan suatu tujuan bersama menimbulkan suasana gangguan ketertiban umum dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta pengrusakan harta benda orang lain, yang belum dianggap sebagai huru-hara.
Strike (pemogokan) adalah tindakan pengrusakan yang disengaja oleh sekelompok pekerja, minimal 12 orang pekerja atau separuh dari jumlah pekerja (dalam hal jumlah seluruh pekerja kurang dari 24 orang),yang menolak bekerja sebagaimana biasanya dalam usaha untuk memaksa majikan memenuhi tuntutan dari pekerja atau dalam melakukan protes terhadap peraturan atau persyaratan kerja yang diberlakukan oleh majikan.
Civil Commotion (huru-hara) adalah keadaan di suatu kota dimana sejumlah besar massa secara bersama-sama atau dalam kelompok-kelompok kecil menimbulkan suasana gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta rentetan pengrusakan sejumlah besar harta benda, sedemikian rupa sehingga timbul ketakutan umum, yang ditandai dengan terhentinya lebih dari separuh kegiatan normal pusat perdagangan/pertokoan atau perkantoran atau sekolah atau transportasi umum di kota tersebut selama minimal 24 jam secara terus menerus yang dimulai sebelum, selama atau setelah kejadian tersebut.
  1. 4. Hal yang harus diperhatikan:
Banker’s Clause atau Klausula Bank adalah suatu klausula yang tercantum dalam Polis yang hanya dicantumkan atas permintaan pihak Bank dimana dalam polis secara tegas dinyatakan bahwa Pihak Bank adalah sebagai penerima ganti rugi atas peristiwa yang terjadi atas obyek pertanggungan sebagaimana disebutkan dalam perjanjian asuransi (polis).
Klausula ini muncul sebagai akibat adanya hubungan hutang piutang antara Debitur dan Kreditur dimana obyek pertanggungan adalah menjadi jaminan Bank; sehingga klausula ini bukan merupakan standard yang pada umumnya tercantum dalam Polis.

E.                 JENIS ASURANSI

Asuransi pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa.
1. Asuransi Kerugian terdiri dari:
a. Asuransi Kebakaran;
b. Asuransi Kehilangan dan Kerusakan;
c. Asuransi laut;
d. Asuransi Pengangkutan;
e.  Asuransi Kredit.
2. Asuransi Jiwa terdiri dari
a.  Asuransi Kecelakaan;
b.  Asuransi Kesehatan;
c.  Asuransi Jiwa Kredit.
  1. F. BATALNYA ASURANSI
Suatu   pertanggungan atau asuransi karena pada hakekatnya adalah merupakan suatu perjanjian maka ia dapat pula diancam dengan resiko batal atau dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat syahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Selain itu KUHD mengatur tentang ancaman batal apabila dalam perjanjian asuransi:
  1. Memuat keterangan yang keliru atau tidak benar atau bila tertanggung tidak memberitahukan hal-hal yang diketahuinya sehingga apabila hal itu disampaikan kepada penanggung akan berakibat tidak ditutupnya perjanjian asuransi tersebut (Pasal 251 KUHD);
  2. Memuat suatu kerugian yang sudah ada sebelum perjanjian asuransi ditandatangani (Pasal 269 KUHD);
  3. memuat ketentuan bahwa tertanggung dengan pemberitahuan melalui  pengadilan membebaskan si penanggung dari segala kewajibannya yang akan datang (Pasal 272 KUHD);
  4. Terdapat suatu akalan cerdik, penipuan, atau kecurangan si tertanggung (Pasal 282 KUHD);
  5. Apabila obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak boleh diperdagangkan dan atas sebuah kapal baik kapal Indonesia atau kapal asing yang digunakan untuk mengangkut obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak boleh diperdagangkan (Pasal 599 KUHD).
G.                SANKSI
Terhadap pelanggaran ketentuan yang dilakukan Penanggung dan Tetanggung dapat dikenakan sanksi berupa:
  1. Sanksi Administratif, (berlaku hanya untuk perusahaan perasuransian, bukan pada tertanggung); dan
  2. Sanksi Pidana.
  1. 1. Sanksi Administratif
Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (“PP No.73/1992”) serta peraturan pelaksanaannya yang berkenaan dengan:
  1. Perizinan usaha;
  2. Kesehatan keuangan;
  3. Penyelenggaraan usaha;
  4. Penyampaian laporan;
  5. Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang pemeriksaan langsung;
dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan sanksi pencabutan izin usaha (Pasal 37 PP No.73/1992).
Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 37, maka terhadap:
  1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif Rp. 1.000.000.000 (satu juta Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan;
  2. Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan operasional tahunan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dikenakan denda administratif Rp. 500.000 (lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan (Pasal 38 PP No.73/1992).
  1. 2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur dalam Pasal 21 UU Asuransi, berikut ini:
  1. a. Terhadap pelaku utama
Orang yang menjalankan atu menyuruh menjalankan usaha perasuransian tanpa izin usaha, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta Rupiah).
  1. b. Terhadap pelaku pembantu
Orang yang menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan atau menjal kembali kekayaan perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut yang diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang–barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, dianjam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta Rupiah).
  1. c. Terhadap pemalsu dokumen
Orang yang secara sendiri–sendiri atau bersama–sama melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta Rupiah).

Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


 I.          Dasar Hukum

1.    Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
2.  Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan.

II.         Definisi

             Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu  yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban pekerja dan Pengusaha.

III.        Macam-macam PHK

            Macam-macam PHK menurut ketentuan Kep-150/Men/2000

1.            PHK yang dilakukan atas inisiatif pengusaha:

a.         PHK yang dilakukan karena pekerja melakukan kesalahan berat, maka pekerja hanya berhak atas uang ganti kerugian.

b.         PHK yang dilakukan karena pekerja melakukan kesalahan diluar  huruf a di atas, maka pekerja berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian.

c.       PHK yang dilakukan bukan karena kesalahan pekerja, tetapi pekerja dapat menerima PHK tersebut, maka pekerja berhak atas 2 x uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian kecuali atas kesepakatan para pihak ditentukan lain.

d.         PHK yang dllakukan karena perusahaan tutup akibat mengalami kerugian terus menerus disertai bukti laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik atau karena keadaan memaksa, maka besarnya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian adalah sesuai ketentuan pasal 22, 23 dan 24 Kep/150/2000, kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak ditentukan lain.
e.         PHK yang dilakukan karena perusahaan tutup diluar alasan pada huruf d atau karena perusahaan melakukan efisiensi, maka pekerja berhak atas 2 x uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian, kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak ditentukan lain.

f.          PHK yang dilakukan karena perubahan status, perubahan kepemilikan perusahaan sebagian atau seluruhnya dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya dengan alasan apapun, maka pekerja berhak atas 2 x uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian, kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak ditentukan lain.

g.         PHK yang dilakukan karena usia pensiun dan dalam KKB, PP serta perjanjian kerja telah diatur adanya jaminan atau manfaat pensiun, maka pekerja tidak berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian kecuali ditentukan lain  dalam KKB, PP serta perjanjian kerja.

h.         PHK yang dilakukan karena usia pensiun dan dalam KKB, PP serta perjanjian kerja tidak diatur adanya jaminan atau manfaat pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja yang putus hubungan kerjanya uang pesangon sebesar 2 x uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak ditentukan lain.

2.         PHK yang dilakukan atas inisiatif pekerja.

a.         PHK yang dilakukan karena pekerja mengundurkan diri, maka pekerja berhak atas ganti kerugian.

b.         PHK yang dilakukan karena perubahan status, perubahan kepemilikan perusahaan sebagian atau seluruhnya dan pekerja tidak bersedia untuk melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja berhak uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian, kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak ditentukan lain.

Note : Dalam hal pekerja diikut sertakan dalam program pensiun maka uang
penghargaan masa kerja untuk setiap PHK  tidak diberikan.

IV.        Syarat-syarat PHK

1.   Setiap pemutusan hubungan kerja di perusahaan harus mendapatkan izin dari P4D untuk pemutusan kerja perorangan dan P4P untuk pemutusan hubungan kerja massal (10 orang pekerja atau lebih pada satu perusahaan dalam satu bulan atau rentetan pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suaru itikad pengusaha untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran)

2.    Pengecualian dari ketentuan nomor 1 di atas, perusahaan dapat memutuskan hubungan kerja tanpa izin kepada P4D atau P4P           apabila : 

a.     Pekerja dalam masa percobaan.

b.    Pekerja mengajukan permintaan mengundurkan diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa mengajukan syarat.

c.     Pekerja telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan (PP) atau kesepakatan kerja bersama (KKB).

d.    Pekerja telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, PP atau KKB.

e.    Berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu.

f.     Pekerja meninggal dunia.

V.         Prosedur PHK:

1.    Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

2.    Setelah diadakan segala usaha dimana pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, maka pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja dengan organisasi pekerja yang bersangkutan yang ada di perusahaan atau dengan pekerja sendiri dalam hal tenaga kerja tersebut tidak menjadi anggota salah satu organisasi pekerja.

3.    Bila perundingan tersebut tidak menghasilkan suatu kesepakatan, maka salah satu pihak atau para pihak mengajukan permintaaan untuk diperantai oleh pegawai perantara sesuai dengan tingkat kewenangannya.

4.    Dalam hal pemerantaraan dimaksud tidak mencapai kesepakatan penyelesaian, pegawai perantara harus membuat anjuran secara tertulis yang memuat saran akhir kepada para pihak.

5.    Pengusaha hanya dapat melakukan PHK setelah mendapat izin dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

6.    P4D/P4P wajib menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu yang sesingkat-singkatnya menurut tata cara yang berlaku. Dalam hal P4D/P4P memberikan izin, maka dapat pula ditetapkan kewajiban pengusaha untuk memberikan uang pesangon, uang jasa, dan ganti kerugian lainnya.

Note :
·         Dalam hal terjadi PHK tetapi pengusaha tidak mengajukan permohonan izin pemutusan hubungan kerja, maka sebelum ada putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan upah pekerja selama proses tetap dibayar 100%.
·         Dalam hal pengusaha melakukan scorching (maksimal 6 bulan) sebelum memperoleh izin pemutusan hubungan kerja, maka pengusaha wajib membayar upah paling sedikit 75% dari upah yang diterima pekerja .

VI.        Saran

Dalam hal pengusaha melakukan peningkatan efisiensi dan pengematan dengan mengurangi jumlah pekerja di perusahaan, maka ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan ;

1.        Mengajukan izin prinsip pemutusan hubungan kerja dengan melampirkan hasil-hasil audit keuangan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

2.        Setelah mendapatkan izin prinsip pemutusan hubungan kerja diadakan musyawarah dengan serikat pekerja/pekerja untuk ditawarkan pengunduran diri secara sukarela dengan kompensasi yang menarik.

3.        Apabila usaha tersebut di atas telah ditempuh dan belum berhasil, maka dapat diproses pemutusan hubungan kerja.

4.         Penyaluran dan penampungan pekerja kepada perusahaan lain.